Rabu, 23 Juni 2010

Media Sering Salah Tafsir Istilah Hukum

DENPASAR, KOMPAS.com - Direktur Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Suparman Marzuki, mengatakan, pemberitaan media massa seringkali salah menafsirkan keputusan hakim, sehingga menimbulkan persepsi negatif masyarakat pembaca terhadap kinerja penegakan hukum. "Salah penafsiran tersebut menyebabkan terciptanya kondisi paranoid dari para pembaca," katanya di Denpasar, Bali, Rabu (23/6/2010). Akademisi dari Yogyakarta itu ke Bali untuk menghadiri lokakarya pelatihan HAM bagi jejaring Komisi Yudisial. Menurut dia, berdasarkan pengamatan studi HAM selama lima tahun terakhir menunjukkan, puluhan bahkan ratusan hakim di Indonesia mengeluhkan rasa kegalauan akibat adanya pemberitaan media massa yang tidak seimbang terhadap berbagai keputusan hakim. Kinerja media massa selama ini, kata dia, memang telah menunjukkan perannya sebagai mitra yang strategis berkaitan dengan pemantauan peradilan terutama kinerja terhadap para hakim. "Tetapi ada beberapa catatan penting yang harus diperhatikan, terutama kekeliruan atau penafsiran yang salah dari teman-teman media dalam menempatkan informasi secara benar," katanya. Misalnya, tentang kejadian yang sesungguhnya bisa menimbulkan dampak yang luar biasa besar dari opini masyarakat terhadap para hakim. Suparman mencontohkan, ada hakim yang menolak gugatan perkara yang diajukan karena jaksa atau para pihak yang berperkara salah mengkonstruksi materi gugatan sehingga hakim menolaknya. Secara sepintas, media akan menulis bahwa hakim telah membebaskan terdakwa dan pemberitaan tersebut akan membangun opini negatif terhadap para hakim. Padahal, menurut dia, materi gugatan tersebut bisa diperbaiki dan bisa digugat lagi ke pengadilan. "Bila istilah dibebaskan, terdakwa tersebut dibebaskan dari segala tuntutan yang ada. Padahal mereka telah melakukan kasus besar seperti yang pernah diketahui oleh masyarakat," ujarnya. Ia mengatakan, istilah-istilah hukum seperti ini mesti dipahami benar oleh para jurnalis sehingga bisa menyajikan informasi yang benar kepada publik. "Padahal, hakim melakukan keputusan yang benar tetapi karena pemberitaan yang salah, keputusan tersebut akhirnya disalahkan," ucapnya. Akibatnya, di Indonesia terbangun sikap paranoid terhadap pemberitaan dan merambat dalam segala bidang yang diberitakan seperti bidang ekonomi, sosial, politik dan sebagainya. "Para hakim juga terkadang merasa tertekan dengan pemberitaan yang ada dan bahkan memengaruhi keputusannya," kata Suparman.
Dikutip dari: http://id.news.yahoo.com/kmps/20100624/tpl-media-sering-salah-tafsir-istilah-hu-81d2141.html

Pencucian Uang

Pencucian Uang, merupakan istilah yang sering digunakan dalam istilah keuangan perbankan. Pencucian uang pada awal pemikirannya merupakan suatu upaya untuk menukar uang yang lama atau usang menjadi uang yang baru. Dalam perkembangannya pencucian uang menjadi lebih bervariasi dan lebih rumit lagi ketika ada unsur pidana dalam perbankan. Pencucian uang pada akhirnya sering dilakukan oleh para penipu dan penjahat demi membersihkan uangnya dari setiap aksi tindak pidana yang telah dilakukan seperti uang hasil perampokan, penjualan obat-obatan terlarang, biaya oprasional perdagangan manusia dan sebagainya. Sampai berita ini diturunkan bank-bank yang ada di Swiss sedang diperiksa dan diupayakan agar segera memberikan informasi terhadap nasabah yang diduga melakukan penipuan, korupsi, dan aksi kejahatan lainnya. Modus seperti ini memang sedang marak terjadi, terlebih lagi banyak bank yang diduga menyembunyikan dana dari hasil tindak pidana korupsi para koruptor.